https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/issue/feedJurnal Hukum Progresif2025-09-30T08:21:52+00:00Open Journal Systemshttps://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/15164PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI INDONESIA2025-09-17T13:07:28+00:00Aldo Fransiskus Xaverius Sidaurukaldo.sidauruk@student.uhn.ac.idJanpatar Simamorapatarmora@uhn.ac.id<p><em>This article examines the protection of Human Rights (HR) from the perspective of the Indonesian Constitution. The study focuses on: (1) HR position in the post-amendment 1945 Constitution; (2) institutional mechanisms for HR promotion and enforcement (Constitutional Court, National Human Rights Commission, general courts); (3) implementation hurdles; and (4) policy recommendations. Using a normative-juridical method based on documents (constitution, statutes, Constitutional Court decisions, National Human Rights Commission reports) and recent literature review (2020–2025), the study finds that despite a strong constitutional foundation, a significant gap exists between norms and practice due to regulatory disharmony, institutional capacity limits, remedial access barriers, and sectoral policy pressures. Recommendations include regulatory harmonization, procedural reform for constitutional litigation access, strengthening Komnas HAM’s mandate and capacity, and mandatory Human Rights Impact Assessment in lawmaking</em><em>.</em></p> <p>Artikel ini mengkaji perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dari perspektif Konstitusi Indonesia. Studi ini berfokus pada: (1) posisi HAM dalam UUD 1945 pasca-amandemen; (2) mekanisme kelembagaan untuk pemajuan dan penegakan HAM (Mahkamah Konstitusi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, peradilan umum); (3) hambatan implementasi; dan (4) rekomendasi kebijakan. Dengan menggunakan metode yuridis normatif berdasarkan dokumen (konstitusi, undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi, laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) dan tinjauan pustaka terkini (2020–2025), studi ini menemukan bahwa meskipun memiliki landasan konstitusional yang kuat, terdapat kesenjangan yang signifikan antara norma dan praktik akibat ketidakharmonisan regulasi, keterbatasan kapasitas kelembagaan, hambatan akses remedial, dan tekanan kebijakan sektoral. Rekomendasi yang diberikan meliputi harmonisasi regulasi, reformasi prosedural untuk akses litigasi konstitusional, penguatan mandat dan kapasitas Komnas HAM, serta Penilaian Dampak HAM yang wajib dalam pembentukan undang-undang.</p>2025-09-30T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresifhttps://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/15233PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA LOVE SCAMMING DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA BARAT2025-09-23T04:40:21+00:00Viona Ananta Ariantovionaananta2004@gmail.comMukhlis Rmukhlis@lecturer.unri.ac.idTengku Arif Hidayattengku.arif@lecturer.unri.ac.id<p>Fenomena Love Scamming sebagai bentuk penipuan digital berbasis relasi asmara semakin marak terjadi di era perkembangan teknologi informasi. Pelaku kejahatan memanfaatkan platform media sosial dan aplikasi kencan untuk membangun hubungan emosional palsu demi keuntungan finansial. Di wilayah Sumtera Barat, kasus Love Scamming menjadi perhatian karena korbannya mayoritas adalah perempuan yang mudah diperdaya oleh modus tipu daya asmara digital. Penegakan hukum terhadap kasus ini menghadapi tantangan tersendiri karena karakteristik kejahatannya yang bersifat siber dan lintas batas. Kepolisian, dalam hal ini Polda Sumatera Barat, memiliki peran penting dalam menanggulangi kejahatan ini melalui pendekatakan preventif maupun represif. Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis dengan pendekatakan studi kasus. Data diperoleh melalui wawancara langsung dengan penyidik Unit Siber Subdit V Ditreskrimsus Polda Sumatera Barat serta penyebaran kuesioner kepada masyarakat sebagai korban potensial. Sumber data meliputi bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder dari literatur ilmiah, dan bahan hukum tersier sebagai pendukung. Peneliti ini juga menggunakan analisis data secara kualitatif dengan pendekatakan dedukatif untuk menarik kesimpulan dari temuan empiris di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana Love Scamming oleh Polda Sumatera Barat belum berjalan optimal. Upaya preventif seperti penyuluhan digital masih terbatas, dan upaya represif menghadapi kendala dalam pelacakan digital, keterbatasan SDM, serta lemahnya koordinasi antar lembaga. Mayoritas kasus terhenti di tahap penyelidikan karena bukti digital yang sulit diakses dan identitas pelaku yang samar. Penelitian ini dianalisis menggunakan teori penegakan hukum dari Soerjono Soekanto dan teori pembaharuan hukum dari Barda Nawawi Arief. Diperlukan pembaruan sistem dan regulasi, serta peningkatakan kapasitas institusional agar kejahatan Love Scamming dapat ditangani secara lebih efektif dan berkeadilan.</p> <p><em>The phenomenon of love scamming, a form of digital fraud based on deceptive romantic relationships, has increasingly emerged in line with the rapid advancement of information technology. Offenders exploit social media platforms and dating apps to build false emotional connections with the intent of financial exploitation. In West Sumatra, this type of crime has raised significant concern , as most victims are women who are easily manipulated by the emotional traps of online romance. Law enforcement efforts face unique challenges due to the cross- border and cyber nature of the crime, placing the West Sumatra Regional Police (Polda Sumatera Barat) at the forefront of both preventive and repressive measures. This study employs a sociological juridical research method with a case study approach. Data were collected through interviews with investigators from Subdirectorate V of the Special Criminal Investigation Directorate (Ditreskrimsus) at Polda Sumbar, as well as questionnaires distributed to members of the public considered potential victims. Sources of data included primary legal materials (statutory regulations), secondary materials (legal literature), and tertiary materials as supporting references. The data were analyzed qualitatively and conclusions were drawn using a deductive reasoning method to interpret the empirical findings. The results of the study indicate that law enforcement against love scamming in West Sumatra remains suboptimal. Preventive efforts, such as digital literacy outreach, are still limited in reach and consistency. Repressive measures face obstacles such as difficulties in digital tracking, limited human resources, and weak inter-agency coordination. Most cases stall during the investigation stage due to insufficient digital evidence and anonymous perpetrator identities. The analysis uses Soerjono Soekanto’s theory of law enforcement and Barda Nawawi Arief’s theory of legal reform. The study concludes that legal system reform and institutional capacity-building are urgently needed to effectively and fairly combat love scamming crimes.</em></p> <p> </p>2025-09-30T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresifhttps://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/15184OPTIMALISASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENGENDARA SEPEDA MOTOR YANG TIDAK MENGGUNAKAN HELM2025-09-19T04:27:36+00:00Yusril Adam Syam Siregaryusril.adam2507@student.unri.ac.idSyaifullah Yophi Ardiyantosyaifullah.yophie@lecturer.unri.ac.idElmayantielmayanti@lecturer.unri.ac.id<p>Penggunaan helm berstandar nasional Indonesia (SNI) merupakan kewajiban bagi setiap pengendara dan penumpang sepeda motor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih tingginya angka pelanggaran terkait penggunaan helm, khususnya di wilayah hukum Kepolisian Sektor Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Data dari tahun 2021 hingga 2023 menunjukkan peningkatan pelanggaran, dari 18 kasus pada 2021 menjadi 35 kasus pada 2023. Fenomena ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti rendahnya kesadaran hukum masyarakat, sikap abai terhadap keselamatan, serta kurang efektifnya sosialisasi aturan di tengah masyarakat. Akibatnya, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengendara sepeda motor tanpa helm kerap menimbulkan luka berat hingga kematian. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pelaksanaannya di lapangan. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan aparat Kepolisian Sektor Sipirok dan observasi langsung terhadap pelaksanaan penegakan hukum di wilayah tersebut. Selain itu, peneliti juga menganalisis data sekunder berupa dokumen, laporan kepolisian, serta literatur terkait penegakan hukum lalu lintas. Pendekatan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai efektivitas penegakan hukum, hambatan yang dihadapi, serta upaya optimalisasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan helm di wilayah hukum Kepolisian Sektor Sipirok telah dilakukan melalui beberapa tahapan, seperti teguran lisan, pemberian sanksi fisik (push- up), hingga penilangan. Namun, upaya ini belum sepenuhnya efektif menekan angka pelanggaran karena masih terdapat kendala utama berupa rendahnya kesadaran hukum masyarakat, perilaku pengendara yang cenderung abai terhadap keselamatan, dan kurangnya sosialisasi yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Penulis merekomendasikan perlunya peningkatan edukasi dan sosialisasi, pengawasan yang lebih intensif, serta penerapan sanksi yang lebih tegas dan konsisten untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap aturan penggunaan helm demi keselamatan bersama.</p> <p><em>The use of Indonesian National Standard (SNI) helmets is mandatory for every motorcycle rider and passenger as regulated in Law Number 22 of 2009 concerning Traffic and Road Transportation. However, the reality on the ground shows that the number of violations related to helmet use is still high, especially in the jurisdiction of the Sipirok Police Sector, South Tapanuli Regency. Data from 2021 to 2023 shows an increase in violations, from 18 cases in 2021 to 35 cases in 2023. This phenomenon is influenced by several factors such as low public legal awareness, a disregard for safety, and ineffective socialization of regulations in the community. As a result, traffic accidents involving motorcycle riders without helmets often cause serious injuries or even death. This study uses an empirical legal approach method, namely reviewing applicable laws and regulations and their implementation in the field. Primary data were obtained through interviews with Sipirok Police officers and direct observation of law enforcement in the area. In addition, researchers also analyzed secondary data in the form of documents, police reports, and literature related to traffic law enforcement. This approach aims to obtain a comprehensive picture of the effectiveness of law enforcement, obstacles faced, and optimization efforts made by the police. The results of the study indicate that law enforcement against helmet violations in the jurisdiction of the Sipirok Police Sector has been carried out through several stages, such as verbal warnings, physical sanctions (push-ups), and ticketing. However, these efforts have not been fully effective in reducing the number of violations because there are still major obstacles in the form of low public legal awareness, driver behavior that tends to ignore safety, and lack of socialization that touches all levels of society. The author recommends the need for increased education and socialization, more intensive supervision, and the application of stricter and more consistent sanctions to increase public compliance with helmet use regulations for the safety of all.</em></p> <p> </p>2025-09-30T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresifhttps://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/15172PENERAPAN SANKSI PIDANA OLEH KEJAKSAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN2025-09-18T08:09:33+00:00Marsel Agustino Saragihmarselagustino.saragih@student.uhn.ac.idJanpatar Simamorapatarmora@uhn.ac.id<p>Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan merupakan salah satu aspek penting dalam penegakan hukum yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan keadilan bagi korban serta masyarakat. Kejaksaan memiliki peran vital dalam proses ini, mulai dari penyusunan dakwaan hingga tuntutan pidana yang dihadapkan pada pengadilan. Dalam konteks ini, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana penerapan sanksi pidana oleh kejaksaan dalam kasus pembunuhan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan jenis sanksi yang diajukan kepada pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif terhadap sejumlah kasus pembunuhan yang ditangani oleh Kejaksaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejaksaan seringkali mempertimbangkan faktor-faktor seperti motif pembunuhan, keadaan psikologis pelaku, serta dampak sosial terhadap masyarakat dalam menetapkan tuntutan pidana. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku pembunuhan menjadi krusial untuk memastikan keadilan serta menanggulangi potensi terjadinya kejahatan serupa di masa depan. Penelitian ini juga menyarankan perlunya peningkatan koordinasi antara kejaksaan, kepolisian, dan lembaga peradilan dalam rangka mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih efisien dan efektif.</p> <p><em>The application of criminal sanctions against perpetrators of murder is a critical aspect of law enforcement, aimed at providing deterrence and justice for the victim and society. The prosecutor's office plays a vital role in this process, from drafting charges to presenting criminal demands in court. This study aims to examine how criminal sanctions are applied by the prosecutor’s office in murder cases, as well as the factors that influence the determination of the type of sanction proposed to the court. The research uses a qualitative approach with descriptive analysis of several murder cases handled by the Prosecutor’s Office. The findings show that prosecutors often consider factors such as the motive behind the murder, the psychological state of the perpetrator, and the social impact on the community when determining the criminal charge. Consistent and firm law enforcement in imposing sanctions on murder perpetrators is crucial to ensuring justice and preventing similar crimes in the future. The study also recommends strengthening coordination between prosecutors, police, and the judiciary to create a more efficient and effective criminal justice system.</em></p> <p> </p>2025-09-30T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresifhttps://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/15242MONOPOLI DAN OLIGOPOLI TERHADAP PERSPEKTIF ISLAM2025-09-23T13:40:17+00:00Muhrozirozi071002@gmail.com<p>Pasar memainkan peran penting dalam menggambarkan dinamika perilaku ekonomi serta dampaknya terhadap kesejahteraan publik. Di antara berbagai bentuk struktur pasar, monopoli dan oligopoli merupakan jenis yang bersifat non-kompetitif dengan pengaruh yang cukup besar. Monopoli ditandai oleh dominasi satu pelaku usaha tanpa adanya pesaing langsung, yang memungkinkan pengendalian harga dan jumlah produksi. Hal ini umumnya menimbulkan harga yang tinggi, kuantitas terbatas, serta ketidakefisienan pasar. Sebaliknya, dalam pasar oligopoli, hanya terdapat beberapa perusahaan besar yang saling memengaruhi kebijakan satu sama lain. Interaksi yang kompleks antar pelaku usaha dalam bentuk perang harga, diferensiasi produk, atau aliansi bisnis menjadikan pasar ini sangat dinamis. Penelitian ini berfokus pada pemahaman konseptual, kebijakan regulasi, dan studi kasus dalam konteks monopoli dan oligopoli, guna memberikan analisis yang lebih menyeluruh.</p>2025-09-30T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresifhttps://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/15221PERBANDINGAN PENGATURAN PENYELESAIAN HUKUM PIDANA PERKARA KEKERASAN SEKSUAL : PERSETUBUHAN ORANG TUA DENGAN ANAK KANDUNG ANTARA INDONESIA DAN SWEDIA2025-09-22T09:21:24+00:00Aburizal Winarnoaburizal@gmail.comAhmad Dicky Arjunandaarjunanda1959@gmail.comAch Adila Rakha Pmrakap6740@gmail.com<p>Kasus persetubuhan antara orang tua dan anak kandung (incest) merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang menimbulkan dampak serius terhadap korban, baik secara fisik maupun psikologis, serta menantang efektivitas penegakan hukum pidana. Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan di Indonesia, tetapi juga muncul di berbagai negara, termasuk Swedia, yang dikenal memiliki sistem hukum pidana progresif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hukum pidana terkait incest di Indonesia dan Swedia, serta membandingkan mekanisme penyelesaian perkara di kedua negara. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan. Bahan hukum primer meliputi KUHP Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), serta Brottsbalken (Swedish Criminal Code) Bab 6 tentang Tindak Pidana Seksual, ditunjang dengan bahan hukum sekunder dan tersier yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia telah mengatur incest sebagai tindak pidana dengan ancaman pidana berat, terutama jika pelaku merupakan orang tua atau wali korban. Namun, penegakan hukum menghadapi kendala berupa rendahnya angka pelaporan, perlindungan korban yang belum optimal, serta stigma sosial. Sebaliknya, Swedia memiliki sistem yang lebih komprehensif, dengan regulasi yang jelas mengenai incest, mekanisme pendampingan hukum korban melalui målsägandebiträde, serta penekanan pada rehabilitasi psikologis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah meskipun Indonesia dan Swedia sama-sama mengkriminalisasi incest, terdapat perbedaan signifikan dalam aspek perlindungan korban dan mekanisme penyelesaian perkara. Rekomendasi yang diajukan adalah perlunya Indonesia memperkuat perlindungan korban, memperluas akses layanan pendampingan hukum, serta mempertimbangkan praktik baik dari Swedia dalam penanganan kasus incest.</p>2025-09-30T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresifhttps://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/15183PERANAN JAKSA SEBAGAI PENGACARA NEGARA DALAM PERKARA PERDATA DAN TATA USAHA NEGARA2025-09-19T02:41:09+00:00Jhon Luis Habeahanjhonluis.habeahan@student.uhn.ac.idDeboradebora@uhn.ac.id<p>Suatu negara yang berlandaskan oleh hukum maka menganut sistem pemerintahannya berlandaskan konstitusi. Kejaksaan Republik Indonesia tidak hanya berperan sebagai penuntut umum, tetapi dalam hal menangani perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, Jaksa memiliki kuasa khusus untuk bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Berdasarkan tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut Jaksa Pengacara Negara merupakan sebutan Jaksa dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Sebagai seorang jaksa, mereka juga memiliki peranan dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, seperti menjadi penuntut umum dan menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, serta kewenangan-kewenangan lain yang diatur dalam Undang-undang. Kemudian salah satu kewenangan lain tersebut adalah sebagai Jaksa Pengacara Negara. Dalam perkara perkara perdata dan tata usaha negara, seorang Jaksa Pengacara Negara memiliki tugas untuk membela hak-hak negara dalam pemulihan harta kekayaan atau aset yang telah merugikan Negara. kewenangan Jaksa Pengacara Negara sebenarnnya sudah cukup jelas mengatur tugas dan fungsinya sesuai dengan undang-undang dan peraturan tentang kejaksaan serta PERJA No: Per-025/A/JA/11/2015, dan terkait batas kewenangan Jaksa Pengacara Negara dalam Perdata dan Tata Usaha Negara ialah segala hal yang diluar dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada undang-undang dan peraturan tentang kejaksaan, serta PERJA No: Per-025/A/JA/11/2015.</p> <p><em>A country that is based on law adheres to a system of government based on the constitution. The Prosecutor's Office of the Republic of Indonesia not only acts as a public prosecutor, but in handling Civil and State Administrative cases, the Prosecutor has special powers to act both inside and outside the court for and on behalf of the state or government in the Civil and State Administrative fields. Based on the duties and authority of the Prosecutor's Office, the State Attorney is the title of Prosecutor in the Civil and State Administration Sector. As a prosecutor, they also have roles and authorities granted by law, such as being a public prosecutor and implementing court decisions that have permanent legal force, as well as other authorities regulated in law. Then one of the other authorities is as a State Attorney. In civil and state administrative cases, a State Attorney has the duty to defend the state's rights in recovering property or assets that have harmed the State. The authority of the State Attorney is actually quite clear in regulating its duties and functions in accordance with the laws and regulations regarding prosecutors as well as PERJA No: Per-025/A/JA/11/2015, and regarding the limits of the State Attorney's authority in Civil and State Administration is anything that is outside of the provisions contained in the laws and regulations concerning prosecutors, as well as PERJA No: Per-025/A/JA/11/2015..</em></p> <p> </p>2025-10-01T00:00:00+00:00Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif