Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp id-ID Fri, 30 May 2025 16:59:35 +0000 OJS 3.3.0.7 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENIPUAN PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL (CPNS) DI POLRESTA BENGKULU https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11075 <p>Penipuan CPNS, semakin sering terjadi, karena bagi mayoritas penduduk menjadi PNS merupakan pekerjaan yang menjanjikan. Instrumen hukum acara pidana dan sistem pemidanaan secara formal mengatur proses penyelesaian perkara pidana. Diketahui dalam praktik digunakan sebagai alat represif saja. Prinsip utama penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative justice merupakan penyelesaian yang mampu menembus ruang hati para pihak yang terlibat. Penerapam restorative justice diterapkan dengan proses perdamaian antara pelapor dan terlapor. Atas dasar perdamaian, penyidik menindaklanjuti dengan melakukan gelar perkara untuk menghentikan penyidikan perkara. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan “socio-legal approch”. Jenis penelitian socio-legal. Lokasi penelitian Polresta Bengkulu. sumber data primer dan sekunder. Tujuan penelitian menganalisis penerapan dan hambatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana penipuan penerimaan CPNS di Polresta Bengkulu. Kesimpulan penerapan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana penipuan penerimaan CPNS di laksanakan berdasarkan Surat Edaran Kapolri No 8 Tahun 2018 Tentang Penerapan Keadilan Restorative (Restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Dan Peraturan Kapolri No 6 Tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana. Hambatan kurangnya personel Reskrim Polres Bengkulu yang menangani kasus penipuan, kurang kesadaran hukum masyarakat untuk ikut menjadi saksi, sulit menemukan bukti. Saran diharapkan menambah penyidik.</p> <p><em>CPNS fraud is increasingly common, because for the majority of the population, becoming a civil servant is a promising job. The criminal procedure law instrument and the formal sentencing system regulate the process of resolving criminal cases. It is known that in practice it is only used as a repressive tool. The main principle of resolving criminal acts through the restorative justice approach is a settlement that is able to penetrate the hearts of the parties involved. The implementation of restorative justice is implemented through a peace process between the reporter and the reported. On the basis of peace, investigators follow up by conducting a case title to stop the investigation of the case. This research approach uses the "socio-legal approach" approach. Type of socio-legal research. Location of research Polresta Bengkulu. primary and secondary data sources. The purpose of the study was to analyze the application and obstacles to restorative justice in resolving criminal acts of fraud in the recruitment of CPNS at the Bengkulu Police. The conclusion is that the application of restorative justice in resolving criminal acts of fraud in the recruitment of CPNS is carried out based on the Circular of the Chief of Police No. 8 of 2018 concerning the Application of Restorative Justice in the Settlement of Criminal Cases and Regulation of the Chief of Police No. 6 of 2019 concerning the investigation of criminal acts. Obstacles are the lack of personnel from the Bengkulu Police Criminal Investigation Unit handling fraud cases, lack of public legal awareness to become witnesses, difficulty in finding evidence. Suggestions are expected to increase investigators.</em></p> Hari Gunawan, Dwikari Nuristiningsih Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11075 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 PENANGGULANGAN PEREDARAN MINUMAN BERALKOHOL DI KABUPATEN BENGKULU TENGAH OLEH KEPOLISIAN https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11284 <p>Peredaran minuman beralkohol di Indonesia, khususnya di Kabupaten Bengkulu Tengah, menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan, seiring dengan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, ketertiban umum, dan meningkatnya angka kriminalitas. Perkembangan ekonomi dan gaya hidup moderen turut mendorong sebagian masyarakat untuk mencari penghasilan secara instan, termasuk dengan memperdagangkan minuman beralkohol secara ilegal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis upaya penanggulangan peredaran minuman beralkohol oleh Kepolisian di Kabupaten Bengkulu Tengah serta mengidentifikasi hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah hukum empiris (socio-legal) dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kepolisian Resort Bengkulu Tengah, melalui Satuan Reserse Kriminal dan Satuan Sabhara, telah melaksanakan upaya preventif berupa penyuluhan dan sosialisasi bahaya minuman keras, serta upaya represif melalui Operasi Pekat yang secara rutin dilaksanakan. Namun demikian, upaya ini masih menghadapi sejumlah hambatan, seperti keterbatasan personel, peredaran ilegal yang tersembunyi, kendala anggaran operasional, serta kurangnya dukungan sosial dan regulasi daerah yang tegas. Oleh karena itu, penanggulangan peredaran minuman beralkohol memerlukan sinergi antara aparat penegak hukum, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya agar dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan.</p> <p><em>The circulation of alcoholic beverages in Indonesia, particularly in Central Bengkulu Regency, shows an alarming upward trend, along with its impact on public health, public order, and the rising crime rate. Economic development and modern lifestEGes have also driven some members of society to seek instant income, including through the illegal trade of alcoholic beverages. This study aims to analyze the efforts made by the police in Central Bengkulu Regency to combat the distribution of alcoholic beverages and to identify the obstacles encountered in its implementation. The research method used is empirical legal research (socio-legal) with a descriptive approach. The findings indicate that the Central Bengkulu Resort Police, through the Criminal Investigation Unit and the Sabhara Unit, have carried out preventive measures such as public education and awareness campaigns on the dangers of alcohol, as well as repressive actions through regular implementation of “Operasi Pekat” (Operation to Combat Social Illnesses). However, these efforts still face several obstacles, including limited personnel, covert illegal distribution, operational budget constraints, and a lack of strong social support and firm local regulations. Therefore, addressing the circulation of alcoholic beverages requires synergy between law enforcement agencies, the community, and other stakeholders to ensure effective and sustainable efforts.</em></p> Julia Gisti Dahnial, M.Rochman Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11284 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 PERAN DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PERNIKAHAN PADA FIQIH KLASIK DAN HUKUM MODERN https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11039 <p>Artikel ini membahas tentang peran dan kedudukan perempuan dalam pernikahan menurut perspektif fiqih klasik dan hukum modern. Dalam fiqih klasik, perempuan cenderung ditempatkan lebih rendah daripada dibawah otoritas laki-laki. Adanya sejarah diskriminasi perempuan dan konsep nusyūz dan Qiwāmah. Kedua hal ini membuat laki-laki memiliki peran dominasi dalam rumah tangga. Sementara itu, hukum modern berupaya menghadirkan keadilan dalam kesetaraan gender dengan menafsirkan ulang teks-teks keagamaan secara lebih adil dan kontekstual. Penelitian kualitiatif ini menggunakan pendekatan studi literatur untuk menganaisis berbagai sumber, baik literatur klasik ataupun kontemporer yang relevan. Hasil dari penelitian ini menggeser kedudukan perempuan dari posisi subordinat menjadi relasi yang lebih setara dalam pernikahan. Artikel ini menyingkap makna Qiwāmah dan nusyūz dengan pendekatan yang lebih kontemporer dan kostekstual. Kesimpulan dari penelitian ini ialah pentingnya pendekatan hermeneutik gender dalam menafsirkan teks-teks keagamaan tentang hukum-hukum keluarga islam agar lebih inklusif dan berkeadilan.</p> <p><em>This article discusses the role and position of women in marriage from the perspectives of classical fiqh and modern law. In classical fiqh, women are often placed in an inferior position under male authority, as seen through the historical roots of gender discrimination and the concepts of nushuz and qiwamah, which legitimize male dominance in the household. In contrast, modern legal approaches aim to promote justice and gender equality by reinterpreting religious texts in a more just and contextual manner. This qualitative research employs a literature review approach to analyze various relevant sources, both classical and contemporary. The findings reveal a shift in the position of women from subordination toward a more equal relationship within marriage. The article explores the meanings of qiwamah and nushuz using contemporary and contextual perspectives. The study concludes that a gender-sensitive hermeneutic approach is essential in interpreting religious texts related to Islamic family law to ensure inclusivity and justice.</em></p> Nurul Aulia Zahra , Nur Adila Nasution, Verdiana Dwi Erlyna Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11039 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 CORAL TRIANGLE INIATIATIVE ON CORAL REEFS, FISHERIES AND FOOD SECURITY ( CTI-CFF) DALAM UPAYA PERLINDUNGAN TERUMBU KARANG DI INDONESIA https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11247 <p>Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki Wilayah laut yang sangat luas, dimana indonesia juga tepat berada dalam kawasan segitiga Karang dunia atau Coral Triangle. Segitiga karang sendiri merupakan salah satu lokasi dengan tingkat keanekaragaman ikan karang tertinggi di dunia. Ekosistem terumbu karang dunia terkhusus indonesia saat ini mengalami situasi yang cukup memprihatinkan dimana angka kerusakan terumbu karang cukup tinggi. Indonesia sendiri memiliki beberapa peraturan terkait perlindungan terumbu karang, namun belum memiliki payung hukum yang secara khusus dan konkrit mengatur terkait perlindungan terumbu karang. Terumbu karang sendiri merupakan suatu ekosistem yang sangat krusial perannya bagi keberlangsungan ekosistem, perannya terhadap keseimbangan alam membuatnya menjadi elemen yang tak boleh diacuhkan kelestariannya. Berdasarkan hal tersebut upaya perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang yang sangat besar ini dianggap perlu. Pada tahun 2007 indonesia melalui presiden SBY menginisiasi pembentukan suatu organisasi yang berisi 6 negara yang berada dikawasan segitiga karang dunia yang kemudian di beri nama Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and food Security(CTI-CFF). Kehadiran CTI-CFF diharapkan dapat mendorong kelestarian ekosistem terumbu karang di kawasan segitiga karang ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Adapun penelitian ini merupakan penelitian hukum kepustakaan. Fokus pembahasan penelitian ini adalah sumber hukum primer, sekunder, dan tersier. Kemudian, data-data yang telah dikumpulkan nantinya akan diolah dan dianalisis menggunakan metode deskriptif dengan cara memilah data sehingga bisa ditarik suatu kesimpulan. Dari hasil penelitian masalah ada tiga hal pokok yang dapat disimpulkan. Pertama, Kondisi terumbu karang di indonesia saat ini cukup beragam dimana terdapat 5,3% terumbu karang dikategorikan sangat baik, 27,2% dalam kondisi baik, 37,3% sedang dan 30,5% dikategorikan buruk. Kedua, CTI-CFF memainkan peran yang cukup penting dalam perkembangan kelestarian terumbu karang sejak didirikan pada tahun 2009 sampai saat ini. Ketiga, Indonesia telah memiliki puluhan aturan yang terkait dengan upaya perlindungan terumbu karang, namun dari keseluruhan aturan tersebut, belum adanya aturan yang secara khusus mengatur terkait terumbu karang.</p> <p><em>Indonesia, as the largest archipelagic country in the world, has a vast maritime area, where it is also located within the Coral Triangle of the world. The Coral Triangle is one of the locations with the highest levels of coral fish diversity in the world. The global coral reef ecosystem, especially in Indonesia, is currently facing a concerning situation where the level of coral reef damage is quite high. Indonesia has several regulations regarding the protection of coral reefs, but it does not yet have a legal framework that specifically and concretely regulates the protection of coral reefs. Coral reefs themselves are a crucial ecosystem for the sustainability of the larger ecosystem, and their role in maintaining environmental balance makes them an element that cannot be neglected in terms of conservation. Based on this, protection efforts for this vast coral reef ecosystem are deemed necessary. In 2007, Indonesia, through President SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), initiated the formation of an organization that includes six countries located within the Coral Triangle, which is named the Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF). The presence of CTI-CFF is expected to encourage the sustainability of the coral reef ecosystem in this Coral Triangle region. The research method used in this study is normative legal research. This research is a literature study. The focus of this research discussion is on primary, secondary, and tertiary legal sources. Then, the data that has been collected will be processed and analyzed using a descriptive method by sorting the data so that a conclusion can be drawn. From the research results, there are three main points that can be concluded. First, the condition of coral reefs in Indonesia is quite varied, where 5.3% of coral reefs are categorized as very good, 27.2% are in good condition, 37.3% are moderate, and 30.5% are categorized as poor. Second, CTI-CFF plays a significant role in the development of coral reef sustainability since its establishment in 2009 to the present. Third, Indonesia has dozens of regulations related to coral reef protection efforts, but among all these regulations, there is yet to be a rule that specifically governs coral reefs.</em></p> Benget Hasiholan Mare Mare, Maria Maya Lestari Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11247 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN ANAK DALAM PEMBAGIAN HARTA PERKAWINAN PASANGAN BEDA AGAMA: STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 4/PDT.P/2013/PA.BDG https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/10781 <p>Perkawinan beda agama merupakan persoalan kompleks dalam sistem hukum Indonesia yang menganut prinsip bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kedudukan anak dan pembagian harta bersama dalam konteks perceraian pasangan beda agama, dengan studi kasus Putusan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data diperoleh melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan analisis putusan pengadilan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur keabsahan perkawinan beda agama. Namun, melalui beberapa putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, terdapat ruang terbatas untuk pengakuan hukum terhadap praktik ini. Dalam kasus perceraian, Pengadilan Agama tetap berwenang memeriksa apabila salah satu pihak beragama Islam. Hakim membagi harta bersama secara proporsional dan menentukan hak asuh anak dengan mempertimbangkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Kasus ini mencerminkan kenyataan bahwa perkawinan beda agama tetap terjadi dalam masyarakat, meskipun dihadapkan pada hambatan hukum dan sosial. Secara filosofis, hal ini menimbulkan perdebatan mengenai keadilan substantif, perlindungan anak, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penelitian ini merekomendasikan reformulasi norma hukum perkawinan agar lebih inklusif terhadap keberagaman agama serta menjamin perlindungan hukum bagi anak dalam konteks perkawinan beda agama.</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong><em>: </em></strong><em>Interfaith marriage is a complex issue in the Indonesian legal system that adheres to the principle that a marriage is valid if it is carried out according to the laws of each religion and its beliefs. This study aims to examine the status of children and the division of joint property in the context of divorce of interfaith couples, with a case study of Decision Number 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. The method used is qualitative legal research with a normative legal and sociological legal approach. Data were obtained through a literature study of regulations, jurisprudence, and analysis of court decisions. Law Number 1 of 1974 does not explicitly regulate the validity of interfaith marriage. However, through several decisions of the Supreme Court and the Constitutional Court, there is limited room for legal recognition of this practice. In divorce cases, the Religious Court still has the authority to examine if one of the parties is Muslim. The judge divides joint property proportionally and determines child custody by considering the principle of the best interests of the child. This case reflects the reality that interfaith marriages continue to occur in society, despite legal and social obstacles. Philosophically, this raises issues of substantive justice, child protection, and respect for human rights. This study recommends reformulating marriage legal norms to be more inclusive of religious diversity and to guarantee legal protection for children in the context of interfaith marriages</em><em>.</em></p> Ilaria Sekar Ailsa, Widya Tri Lestari, Dwi Desi Yayi Tarina Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/10781 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 TANGGUNG JAWAB PEDAGANG KIOS OLEH-OLEH TERHADAP MAKANAN KADALUWARSA MENURUT UNDANG UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI KOTA BENGKULU https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11154 <p>Analisis tanggung jawab pedagang kios oleh-oleh di Kota Bengkulu terhadap makanan kadaluwarsa menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Makanan kadaluwarsa yang dijual oleh pedagang kios oleh-oleh dapat membahayakan kesehatan pelanggan dan bertentangan dengan hak-hak konsumen yang dilindungi oleh undang-undang. Studi ini menggunakan hukum empiris (socio legal) dengan pendekatan deskriptif Untuk mengetahui praktik di lapangan, data dikumpulkan melalui wawancara dan studi pustaka. Pedagang kios oleh-oleh di Kota Bengkulu dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bengkulu juga disurvei. Menurut hasil penelitian, pedagang kios oleh-oleh di Kota Bengkulu sudah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa makanan yang mereka jual adalah aman dan tidak kadaluwarsa. Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan informasi yang jelas dan akurat tentang produk yang dijual serta memastikan bahwa produk tersebut memenuhi standar mutu yang aman bagi konsumen. Makanan yang sudah melewati masa kadaluwarsa tetap dijual karena beberapa pedagang tidak memperhatikan ketentuan tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan pemahaman tentang kewajiban hukum saat ini, serta penegakan hukum yang lemah di lapangan.</p> <p>&nbsp;</p> <p><em>Analysis of the responsibility of souvenir stall traders in Bengkulu City for expired food according to Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection. Expired food sold by souvenir stall vendors may endanger the health of customers and go against the rights of consumers protected by law. This study uses empirical law (socio legal) with a descriptive approach To find out the practice in the field, data was collected through interviews and literature studies. Souvenir stall traders in Bengkulu City and the Bengkulu City Trade and Industry Office were also surveyed. According to the results of the study, souvenir stall traders in Bengkulu City are already responsible for ensuring that the food they sell is safe and does not expire. Article 4 of the Consumer Protection Law establishes the responsibility of business actors to provide clear and accurate information about the products sold and ensure that the products meet quality standards that are safe for consumers. Food that has passed the expiration date is still sold because some traders do not pay attention to these provisions. This is due to the lack of oversight and understanding of current legal obligations, as well as weak law enforcement on the ground.</em></p> Randy Kelvin , Marlinah Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11154 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 90/PUU-XXI/2023 TERHADAP INTEGRITAS KONSTITUSIONAL https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11102 <p>Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah ketentuan syarat usia calon presiden dan wakil presiden menuai kontroversi karena dinilai melampaui kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator dan menciptakan norma baru yang semestinya merupakan ranah pembentuk undang-undang. Artikel ini menganalisis aspek norma dan prinsip open legal policy dengan pendekatan normatif melalui studi dokumen hukum dan literatur ilmiah. Hasil analisis menunjukkan adanya deviasi dari prinsip-prinsip dasar konstitusionalisme dan perlunya penguatan mekanisme etik serta batas kewenangan dalam praktik judicial review guna menjaga legitimasi dan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi.</p> <p><em>The Constitutional Court Decision No. 90/PUU-XXI/2023, which altered the age requirements for presidential and vice-presidential candidates, sparked controversy for allegedly exceeding the Court’s authority as a negative legislator by creating a new legal norm an action typically reserved for the legislature. This article examines the normative aspects, judicial ethics, and the principle of open legal policy using a normative approach based on legal documents and scholarly literature. The analysis reveals a deviation from foundational constitutional principles and underscores the need to strengthen ethical mechanisms and jurisdictional boundaries in judicial review practices to uphold the legitimacy and public trust in the Constitutional Court.</em></p> Dea Nanda Rahmadani, Pipi Susanti Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11102 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 DISHARMONI HUKUM NORMATIF DAN ESHMPIRIS DALAM BUDAYA HUKUM PERIZINAN USAHA PASCA OSS https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11347 <p>Penerapan sistem Online Single Submission (OSS) dalam perizinan usaha di Indonesia merupakan langkah strategis untuk menyederhanakan birokrasi dan mendorong iklim investasi. Namun, dalam praktiknya, ditemukan ketidaksesuaian antara norma hukum yang tertulis (hukum normatif) dengan pelaksanaan di lapangan (hukum empiris). Ketidakharmonisan ini mencerminkan permasalahan mendasar dalam budaya hukum perizinan, di mana regulasi yang seharusnya menjadi acuan belum sepenuhnya diinternalisasi oleh para pelaku birokrasi maupun masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk disharmoni tersebut, menganalisis penyebabnya, serta mengevaluasi dampaknya terhadap efektivitas sistem perizinan usaha pasca implementasi OSS. Melalui pendekatan yuridis-sosiologis, diperoleh temuan bahwa kendala utama terletak pada ketidaksiapan institusi, tumpang tindih regulasi sektoral, dan resistensi terhadap perubahan dalam tatanan budaya hukum lokal. Oleh karena itu, dibutuhkan pembaruan hukum yang adaptif serta strategi internalisasi nilai-nilai hukum yang lebih komprehensif.</p> <p><em>The implementation of the Online Single Submission (OSS) system in Indonesia aims to streamline business licensing procedures and foster a more conducive investment climate. However, discrepancies between written legal norms (normative law) and actual practices in the field (empirical law) have emerged. This disharmony reflects a deeper issue within the legal culture of business licensing, where regulations intended as guiding frameworks are not fully internalized by both bureaucratic actors and the public. This study seeks to identify the forms of disharmony, analyze their underlying causes, and assess their impact on the effectiveness of the business licensing system following OSS implementation. Using a socio-legal approach, the research finds that major obstacles include institutional unpreparedness, overlapping sectoral regulations, and resistance to change within local legal cultures. Therefore, adaptive legal reform and a more comprehensive internalization of legal values are necessary to align legal norms with on-the-ground practices.</em></p> Ananda Kyara Putri Kusuma, Nadia Ayu Pratiwi Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11347 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 STUDI HUKUM PIDANA TERHADAP PENYELEWENGAN IDENTITAS PALSU DALAM PROFESI KEDOKTERAN: DOKTER GADUNGAN https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11066 <p>Artikel ini membahas regulasi dan implementasi hukum pidana terhadap pelaku praktik kedokteran ilegal atau biasa disebut dokter gadungan, yaitu individu yang menyamar sebagai dokter menggunakan identitas palsu. Praktik tersebut sangat berisiko dan menimbulkan persoalan hukum karena dilakukan tanpa Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang menjadi bukti kompetensi dan legalitas profesi kedokteran. Metode pendekatan normatif digunakan dalam penelitian ini, dengan mengkaji peraturan perundang-undangan, artikel, jurnal hukum, dan literatur terkait. Hasil kajian menunjukkan bahwa penerapan sanksi pidana terhadap pelaku dokter gadungan belum konsisten dengan asas lex specialis derogat legi generali dan lex specialis systematis. Oleh karena itu, disarankan agar penegakan hukum lebih mengedepankan penggunaan ketentuan dalam Undang-Undang Kesehatan dibandingkan KUHP. Temuan ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi aparat penegak hukum untuk menindak pelaku dokter gadungan secara lebih tepat dan sesuai dengan asas-asas dalam sistem hukum pidana nasional.</p> <p><em>This article discusses the regulation and implementation of criminal law against perpetrators of illegal medical practices, commonly known as fake doctors, namely individuals who impersonate doctors using fake identities. The practice is hazardous and raises legal issues because it is carried out without a Registration Certificate (STR) and Practice License (SIP) which are proof of the competence and legality of the medical profession. The normative approach method is used in this research, by reviewing laws and regulations, articles, legal journals, and related literature. The results of the study show that the application of criminal sanctions against fake doctors has not been consistent with the principles of lex specialis derogat legi generali and lex specialis systematis. Therefore, it is recommended that law enforcement prioritize the use of provisions in the Health Law rather than the Criminal Code. This finding is expected to be a reference for law enforcement officials to take action against fake doctors more appropriately and by the principles of the national criminal law system.</em></p> Deffani Raisha Dzakira, Hanum Rokhimah, Dela Darlia Danela, David Nugraha Saputra Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11066 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENGABAIAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI ISTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11248 <p>Perlindungan hak kesehatan reproduksi perempuan merupakan aspek krusial dalam mencapai kesetaraan gender dan kesehatan masyarakat yang optimal. Tujuan penelitian untuk menganalisis bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dan hak atas Kesehatan reproduksi Perempuan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menganalisis bahan hukum dan teori terkait Kesehatan reproduksi. Hasilnya ialah, aturan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual secara komprehensif yaitu perlindungan oleh hukum secara umum yang mencakup pemberian Restitusi dan Kompensasi, konseling sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu pengabaian hak kesehatan reproduksi, pelayanan Bantuan Medis diberikan kepada korban yang menderita secara medis. Secara komprehensif untuk melindungi hak kesehatan reproduksi perempuan, dengan fokus pada akses layanan kesehatan yang aman dan berkualitas, serta penanganan kekerasan berbasis gender. Akan tetapi pada Implementasinya belum efektif dalam melindungi hak-hak Perempuan.</p> <p><em>The protection of women's reproductive health rights constitutes a critical element in the pursuit of gender equality and optimal public health. This study aims to examine the legal protections afforded to victims of sexual violence and the right to reproductive health for women, as stipulated in Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence. Employing a normative juridical approach, this research analyzes relevant legal sources and theoretical frameworks related to reproductive health. The findings indicate that the legal framework provides comprehensive protection for victims of sexual violence. These protections include general legal safeguards encompassing the provision of restitution and compensation, psychological counseling to mitigate the adverse mental health impacts resulting from the neglect of reproductive health rights, and medical assistance for victims experiencing physical harm. Overall, the law is intended to ensure the protection of women's reproductive health rights by promoting access to safe and high-quality healthcare services, while also addressing gender-based violence. Nevertheless, the implementation of these legal protections remains ineffective in fully upholding women's rights in practice</em><em>.</em></p> Fitri Handayani Nesyagastia Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11248 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 DIGITALISASI BIROKRASI PEMERINTAHAN: MOTIF POLITIS SEGELINTIR PEJABAT BERKEDOK INOVASI TATA KELOLA https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/10950 <p>Digitalisasi tata kelola pemerintahan menjadi suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari oleh setiap negara, termasuk Indonesia sebagai negara berkembang. Sebagai respons terhadap tuntutan untuk mengejar standar tata kelola pemerintahan negara maju, Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) berupaya mendorong birokrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengadaptasi teknologi digital dalam rangka mempermudah dan meningkatkan efisiensi tata kelola pemerintahan. Namun, digitalisasi pemerintahan ini menimbulkan pertanyaan mendalam terkait kapasitas dan integritas pejabat yang bertanggung jawab atas transformasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi digitalisasi pemerintahan di Indonesia, dengan fokus pada apakah pejabat publik memiliki kompetensi dan integritas yang memadai dalam menjalankan kebijakan SPBE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik digitalisasi di banyak instansi pemerintahan, baik pusat maupun daerah, seringkali terjebak pada sebatas upaya belanja anggaran dan pencitraan politik yang bertujuan untuk promosi jabatan. Lebih lanjut, beberapa aplikasi yang diklaim sebagai inovasi tata kelola sering kali mendapatkan respons negatif dari masyarakat, bahkan pada tahap perkenalan nama aplikasi, yang memperburuk citra digitalisasi itu sendiri. Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun upaya digitalisasi merupakan langkah maju dalam meningkatkan efektivitas pemerintahan, tantangan terkait kapasitas, integritas, serta pengelolaan teknologi yang tepat masih menjadi hambatan besar dalam mencapai tujuan transformasi pemerintahan berbasis elektronik yang sesungguhnya.</p> <p>&nbsp;</p> Muhammad Gembong Abdillah, M.Hamdi HS Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/10950 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 KONFLIK RUSIA DAN UKRAINA SEBAGAI UJIAN BAGI KETAHANAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM HUMANITER https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11197 <p>Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina telah menjadi ujian penting bagi ketahanan prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional, khususnya dalam konteks perang modern yang kompleks dan sarat kepentingan geopolitik. Artikel ini menganalisis penerapan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional seperti distinction, proportionality, dan precaution dalam konflik tersebut, mengidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan laporan lembaga resmi, serta mengevaluasi kekuatan dan keterbatasan prinsip-prinsip tersebut di tengah realitas perang kontemporer. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yuridis-normatif berbasis analisis dokumen, studi ini menemukan bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip IHL terjadi secara sistemik dan terstruktur, termasuk deportasi paksa anak-anak, serangan terhadap objek sipil, serta penggunaan senjata indiscriminatif. Pelanggaran ini memenuhi unsur kejahatan perang dalam Statuta Roma dan menunjukkan kegagalan dalam penegakan tanggung jawab komando (command responsibility). Lebih jauh, efektivitas hukum humaniter tidak hanya diuji oleh dinamika medan perang, tetapi juga oleh asimetri kekuasaan dalam sistem internasional. Dengan menganalisis isu ini melalui pendekatan Responsibility to Protect, legal realism, dan just war theory, artikel ini menyimpulkan bahwa diperlukan revitalisasi norma dan reformasi institusional untuk memastikan hukum humaniter tetap relevan dan dapat ditegakkan dalam menghadapi tantangan perang di era modern.</p> Ali Ahmed Asiri, Doddy Suhadiman, Arsisius Susilo, Dinand Tumpak Williams, Wahyu Ramadhanus Suryawan Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11197 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 PELAKSANAAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENGALIHAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA TANPA PERSETUJUAN TERTULIS https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/10627 <p>Konsumen dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia dilarang mengalihkan objek jaminan fidusia kepada pihak lain tanpa persetujuan dari penerima fidusia. Penelitian ini membahas permasalahan mengenai apakah sanksi pidana bagi seseorang yang telah mengalihkan objek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dengan studi lapangan dan studi pustaka. Terjadinya pengalihan objek jaminan fidusia ini, karena masyarakat yang menjaminkan barangnya masih menganggap bahwa barang atau objek jaminan fidusia tersebut masih menjadi hak miliknya. Anggapan tersebut adalah sebuah kekeliruan, dimana meski barang atau objek ada pada pemberi fidusia (debitur) namun barang atau objek tersebut adalah berstatus dipinjamkan oleh penerima fidusia (kreditur). Perlu adanya kesadaran masyarakat yang mengadakan perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia agar lebih memperhatikan tanggungjawabnya dalam pemenuhan prestasi, karena tindakan cidera janji tidak selamanya bisa diselesaikan dengan musyawarah. Pelaksanaan sanksi pidana sekiranya dapat memberi efek jera dan menjadi motivasi untuk beritikad baik.</p> <p><em>Consumers in consumer financing agreements with fiduciary guarantees are prohibited from transferring the object of fiduciary guarantees to other parties without the consent of the fiduciary recipient. This research discusses the problem of what are the criminal sanctions for someone who has transferred the object of fiduciary guarantee without prior written consent from the fiduciary recipient. The occurrence of the transfer of the object of fiduciary guarantee is because the people who pledge their goods still consider that the goods or object of fiduciary guarantee still belong to them. This assumption is a mistake, where even though the goods or objects are in the control of the fiduciary grantor (debtor), the goods or objects are loaned by the fiduciary recipient (creditor). It is clear that in terms of ownership of documents, as well as proof of legal ownership is held by the fiduciary recipient (Creditor). So that it can reduce the losses that will be suffered by the creditor and it is hoped that there will be awareness of the people who carry out consumer financing agreements with fiduciary guarantees to pay more attention to their responsibilities in fulfilling achievements, because acts of breaking promises cannot always be resolved by deliberation. The application of prison sanctions should be able to provide a deterrent effect and motivate to be in good faith</em><em>.</em></p> Rodentus Leonardus Habeahan Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/10627 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INVESTOR DALAM KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI KAWASAN PARIWISATA DANAU TOBA DALAM PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11150 <p>Kawasan Danau Toba, sebagai destinasi pariwisata super prioritas dan UNESCO Global Geopark, memiliki potensi besar untuk investasi pariwisata. Namun, kepastian hukum bagi investor masih terhambat oleh berbagai kendala. Penelitian ini menganalisis pengaturan hukum yang memberikan perlindungan kepada investor di Kawasan Danau Toba serta mengidentifikasi kendala hukum yang menghambat kepastian hukum. Dengan pendekatan yuridis normatif, penelitian ini mengkaji Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dan regulasi terkait lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun kerangka hukum mendukung investasi melalui prinsip good faith, pacta sunt servanda, dan non-diskriminasi, implementasinya terkendala oleh ketidaksinkronan regulasi, konflik lahan adat, birokrasi perizinan, kurangnya koordinasi antarlembaga, perubahan regulasi yang tidak terduga, dan lemahnya mekanisme penyelesaian sengketa. Harmonisasi regulasi, penguatan perizinan berbasis teknologi, dan pengakuan hak masyarakat adat direkomendasikan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.</p> <p><em>The Danau Toba region, designated as a super-priority tourism destination and a UNESCO Global Geopark, holds significant potential for tourism investment. However, legal certainty for investors remains hindered by various challenges. This study analyzes the legal framework providing protection for investors in the Danau Toba region and identifies legal obstacles affecting such certainty. Employing a normative juridical approach, this research examines Law No. 25 of 2007 on Investment, Law No. 10 of 2009 on Tourism, and related regulations. Findings indicate that while the legal framework supports investment through principles of good faith, pacta sunt servanda, and non-discrimination, its implementation is constrained by regulatory inconsistencies, customary land conflicts, bureaucratic permitting processes, lack of inter-agency coordination, unpredictable regulatory changes, and weak dispute resolution mechanisms. Recommendations include regulatory harmonization, strengthening technology-based permitting systems, and recognizing customary community rights to foster a conducive investment climate.</em></p> Herbin Saragi, Hulman Panjaitan, Paltiada Saragi Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11150 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000 ANALISIS KOMPETENSI ABSOLUT DALAM SISTEM HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11355 <p>Kompetensi absolut merupakan elemen fundamental dalam sistem hukum acara perdata Indonesia yang menentukan jenis perkara yang menjadi kewenangan masing-masing lembaga peradilan. Dalam konteks peradilan agama, batas-batas kompetensi absolut seringkali berbenturan dengan jenis perkara lain yang berkaitan secara materiil. Ketidakhadiran aturan eksplisit mengenai penggabungan tuntutan antar yurisdiksi menyebabkan inkonsistensi putusan dan hambatan dalam penyelesaian sengketa secara komprehensif. Artikel ini mengkaji urgensi rekonstruksi penggabungan tuntutan berdasarkan pendekatan yuridis normatif dan studi perbandingan. Hasilnya menunjukkan perlunya penataan ulang norma yang memungkinkan fleksibilitas prosedural tanpa menghilangkan kejelasan batas kompetensi absolut.</p> <p><em>Absolute jurisdiction is a fundamental element of Indonesia’s civil procedural law system, determining the types of cases under the authority of each judicial institution. In the context of religious courts, the boundaries of absolute jurisdiction often intersect with other materially related civil claims. The absence of explicit rules on cross-jurisdictional claim joinder has led to inconsistent rulings and hindered comprehensive dispute resolution. This article examines the urgency of reconstructing claim joinders using a normative legal and comparative approach. The findings highlight the need for procedural flexibility without undermining the clarity of absolute jurisdiction limits.</em></p> Adlyn Nazurah, Adrina Fauza , Abdul Zaky Al Habibi , Adnan Hanan Dalimunthe, Al Ghany Rahmakadi, Fauziah Lubis Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Hukum Progresif https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jhp/article/view/11355 Fri, 30 May 2025 00:00:00 +0000