RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI SARANA PEMULIHAN ATAU LEGITIMASI PEMERASAN: (STUDI YURIDIS ATAS PUTUSAN NO. 39/PID.B/2021/PN BMS)

Penulis

  • Andi Darti Universitas Borobudur
  • Zainal Arifin Husein Universitas Borobudur

Kata Kunci:

Das Sein, Das Sollen, Pembaruan Hukum, Pemerasan, Putusan 39/Pid.B/2021/PN Bms, Restorative Justice

Abstrak

Restorative justice (RJ) diidealkan sebagai pendekatan pemulihan yang berlandaskan keadilan substantif antara pelaku dan korban. Namun dalam praktiknya (das Sein), RJ dapat berubah menjadi instrumen penyimpangan ketika digunakan oleh aktor-aktor eksternal sebagai sarana pemerasan terselubung. Kajian ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang umumnya mengagungkan RJ sebagai paradigma solutif, tanpa mengkritisi ruang gelapnya. Studi ini mengambil Putusan No. 39/Pid.B/2021/PN Bms sebagai pintu masuk analisis, yakni perkara pemerasan yang dilakukan oleh seorang anggota LSM antikorupsi terhadap lima kepala desa di Banyumas, berkedok penyelesaian damai. Kasus ini membuka pertanyaan kritis tentang kemungkinan penyalahgunaan RJ sebagai alat legitimasi pemerasan, terutama ketika pelaku bukan bagian dari relasi langsung korban-pelaku. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan pendekatan dekonstruktif terhadap konsep RJ. Data dianalisis secara kualitatif melalui studi putusan pengadilan, analisis peraturan (khususnya Perpol No. 8 Tahun 2021), dan literatur hukum pidana serta etika hukum. Putusan Siswo Subroto menunjukkan bahwa praktik RJ dalam kenyataannya (das Sein) dapat dimanipulasi oleh pihak ketiga untuk meminta kompensasi dengan ancaman reputasi. Penyelesaian “damai” menjadi sarana kriminalisasi terselubung yang dilegitimasi oleh kekosongan hukum. Negara belum memiliki filter etik atau batas hukum yang mencegah terjadinya praktik transaksionalisasi keadilan dalam bingkai RJ. Putusan ini juga menyoroti absennya standar etik, batas nilai, dan pengawasan aparat hukum dalam pelaksanaan RJ. Penelitian ini menyoroti gap antara das Sein dan das Sollen: RJ sebagai ideal hukum (das Sollen) yang menjanjikan pemulihan, justru dalam kenyataannya (das Sein) dapat membuka ruang pemerasan. Kritik terhadap RJ tidak hanya ditujukan pada pelaksanaannya, tetapi juga terhadap struktur hukum yang membiarkan kekosongan ini berlangsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembaruan hukum nasional yang mencakup regulasi etik, mekanisme pengawasan, dan batas yuridis dalam praktik RJ agar tidak menjadi alat manipulasi dan pelanggengan relasi kuasa.

Restorative justice (RJ)  is  ideally  conceived as a reparative approach grounded in substantive justice between offenders and victims.  However, in practice (das Sein), RJ can be distorted          into an instrument of abuse when external actors exploit it as a tool for covert extortion.                 This  study diverges from previous research that generally glorifies RJ as a solution - oriented paradigm, by critically examining its darker potential. It takes Judicial Decision No. 39/Pid.B/ 2021/PN Bms  as a point of analysis a case involving extortion by a self-proclaimed anti-corruption NGO   member against five village heads in  Banyumas, under the guise of a “peaceful settlement.” This case raises critical questions about the misuse of RJ as a means of legitimizing extortion, particularly when the offender is not in a direct offender-victim relationship. This research employs a normative legal approach and a deconstructive critique of the RJ    concept. Data is analyzed qualitatively through court decision analysis, regulatory frameworks (particularly Police Regulation No. 8 of 2021), and legal literature in criminal law and legal    ethics. The Siswo Subroto decision reveals that RJ practices in reality (das Sein) may be manipulated  by third parties to demand compensation under the threat of reputational damage. The so-called “peaceful resolution” becomes a covert tool of criminalization, legitimized by legal and  ethical loopholes. The state currently lacks ethical filters and legal boundaries to prevent the transactional distortion of justice in the name of RJ. This  ruling  also highlights the absence of ethical standards, value limits, and oversight mechanisms in RJ implementation. This  study  underscores  the  gap  between das Sein and das Sollen:  RJ  as  a  legal  ideal (das  Sollen) promising reconciliation, yet in practice (das Sein) opens space for extortion. The critique is  not only aimed at its implementation but also at the legal structure that allows  this void to persist. Therefore, national legal reform is necessary to establish ethical regulations, oversight mechanisms, and legal boundaries in RJ practices to prevent it from becoming a tool     of manipulation and institutionalized power imbalance.

Unduhan

Diterbitkan

2025-07-30