Jurnal Prisma Hukum
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph
id-IDJurnal Prisma HukumTINJAUAN PENDIRIAN PERSEROAN PERORANGAN BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15191
<p>Perseroan perorangan adalah sebuah badan usaha yang berbadan hukum yang berbentuk sebuah perseroan. Dalam pengaturan perseroan perorangan sendiri dalam unsur-unsurnya dan bentuk pendiriannya masih ditemukan ketidak sinkronisasi hukum. ketidak harmonisasi hukum ini dapat ditemukan dalam hierarki hukum baik secara vertikal ataupun horizontal. Ketidak Sinkronisasi ini dapat menimbulkan kekeliruan dan kebingungan dalam pemaknaan dari bentuk sebuah perseroan sebenarnya baik secara umum ataupun khusus. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji kembali mengenai bentuk dan unsur-unsur yang ada dalam pembentukan perseroan perorangan.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif dengan melakukan pengkajian terhadap Undang-Undang dari hierarkinya paling besar sampai kecil yang mengatur mengenai perseroan guna untuk mengetahui ketidaksinkronan hukum apa saja dalam pengaturan sebuah perseroan. Penelitian ini menggunakan data bahan hukum primer dan sekunder, serta bahan hukum tersier guna membantu penelitian.Hasil penelitian ini menunjukan adanya ketidaksinkronan hukum yang ada di Indonesia dalam berbagai tingkatan peraturan yang mengatur mengenai perseroan perorangan. Ketidaksinkronan hukum dalam pengaturan perseroan perorangan ini dapat ditemukan dalam penelitian sebuah perseroan, unsur-unsur perseroan, serta syarat-syarat pendirian sebuah perseroan itu sendiri. Maka dari itu perlunya pengkajian kembali mengenai pengaturan peseroan perorangan di Indonesia sendiri oleh pemerintah untuk melakukan pengsinkronisasian hukum. Tujuan dilakukannya harmonisasi hukum sendiri adalah untuk menjamin tercapainya harmonisasi hukum Indonesia dalam berbagai tingkatan peraturan-peraturan yang berlaku dalam hukum Indonesia.</p> <p><em>A sole proprietorship is a legal entity structured in a manner akin to a corporation. However, there exists a notable lack of legal synchronization in the regulations governing sole proprietorships, particularly regarding their formation and essential elements. This discrepancy is evident within the legal hierarchy, both vertically and horizontally. Such inconsistencies can result in misunderstandings about the definition of a corporation, both in general and specific contexts. The purpose of this study is to analyze the forms and components involved in establishing a sole proprietorship.The research methodology employed in this study is normative, involving a thorough examination of relevant laws across various levels of the hierarchy that regulate corporations, with the aim of identifying existing legal inconsistencies. This research incorporates primary and secondary legal data, along with tertiary legal materials to support its findings.The results reveal a significant lack of legal synchronization in Indonesia concerning the various regulations governing sole proprietorships. Inconsistencies can be identified in the definition of a business, the elements that constitute a company, and the requirements for establishing one. Therefore, it is imperative for the government to review and refine the regulations pertaining to individual companies in Indonesia to achieve legal synchronization. The overarching goal of ensuring legal harmonization is to promote the consistent application of Indonesian law across different regulatory levels.</em></p>Juniver Aron SetiawanRahmad HendraSamariadi
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099KERJASAMA INDONESIA-AS MELALUI (USAID IUWASH) TAHUN 2020-2024 TERKAIT AKSES AIR BERSIH DALAM BINGKAI SDG’s
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/14971
<p>Air bersih dan sanitasi yang layak merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan. Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menyediakan layanan air minum aman dan sanitasi untuk seluruh warganya, terutama di wilayah pedesaan dan daerah dengan infrastruktur terbatas. Melalui kerja sama bilateral dengan Amerika Serikat, Indonesia melaksanakan program USAID IUWASH bersama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga terkait sebagai upaya untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan perilaku higiene. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menganalisis kerjasama program IUWASH dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin ke-6 yaitu air bersih dan sanitasi layak. Hasilnya menunjukkan bahwa program ini berkontribusi signifikan dalam memperkuat kapasitas kelembagaan, pelibatan masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan, yang terwujud dalam pelatihan dan pendampingan teknis bagi institusi penyedia layanan, edukasi serta pemberdayaan masyarakat terkait perilaku hidup bersih dan sehat, serta pengelolaan sumber daya air yang ramah lingkungan dan tangguh terhadap perubahan iklim. IUWASH juga menjadi contoh kemitraan internasional yang efektif dalam mempercepat pencapaian target nasional di sektor WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) dan menunjukkan komitmen Indonesia dalam diplomasi pembangunan berkelanjutan.</p> <p><em>Access to clean water and proper sanitation is a fundamental human need that is crucial for health and well-being. Indonesia still faces challenges in providing safe drinking water and sanitation services for all its citizens, particularly in rural areas and regions with limited infrastructure. Through bilateral cooperation with the United States, Indonesia implements the USAID IUWASH program in collaboration with the government and related institutions as an effort to improve access to clean water and hygiene practices. This study employs a qualitative approach to analyze the IUWASH program’s cooperation in supporting Sustainable Development Goal (SDG) 6, which focuses on clean water and sanitation. The findings show that the program contributes significantly to strengthening institutional capacity, community engagement, and environmental sustainability, as manifested in technical training and assistance for service providers, community education and empowerment on clean and healthy living practices, as well as environmentally friendly and climate-resilient water resource management. IUWASH also serves as an effective example of international partnership in accelerating national targets in the WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) sector and demonstrates Indonesia’s commitment to sustainable development diplomacy.</em></p>Brendys Theodora Paulani BaitanuIndra Wisnu WibisonoRoberto Octovianus Cornelis Seba
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099PERAN JAKSA DALAM PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA DI KEJAKSAAN TINGGI SUMATERA UTARA
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15173
<p>Penelitian ini membahas kewenangan Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dalam penyusunan surat dakwaan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan terkait. Pendahuluan menguraikan pentingnya peran jaksa dalam proses penuntutan serta tantangan yang dihadapi dalam praktik penyusunan surat dakwaan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif, mengkaji peraturan perundang-undangan, literatur hukum, serta wawancara dengan para Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sebagai data primer. Pembahasan pertama mengulas dasar hukum kewenangan jaksa dalam membuat surat dakwaan, termasuk ketentuan Pasal 14 huruf d KUHAP dan peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia. Pembahasan kedua menyoroti hambatan teknis dan operasional yang dialami jaksa penuntut umum di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terkait pembuatan dakwaan. Pembahasan ketiga membahas tentang upaya untuk menanggulangi hambatan yang telah dilakukan oleh pihak Jaksa Di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai kewenangan dan tantangan jaksa dalam penyusunan surat dakwaan serta memberikan rekomendasi untuk perbaikan proses penuntutan pidana di Indonesia.</p> <p><em>This study examines the authority of the Public Prosecutors at the High Prosecutor's Office of North Sumatra in drafting indictments based on the provisions of the Indonesian Criminal Procedure Code (KUHAP) and related regulations. The introduction outlines the crucial role of prosecutors in the prosecution process and the challenges they face in the practice of drafting indictments. This research employs a qualitative method with a normative juridical approach, reviewing legislation, legal literature, and conducting interviews with Public Prosecutors at the High Prosecutor's Office of North Sumatra as primary data. The first discussion focuses on the legal basis for prosecutors’ authority to draft indictments, including Article 14 letter d of KUHAP and regulations from the Attorney General of the Republic of Indonesia. The second discussion highlights the technical and operational obstacles experienced by public prosecutors at the High Prosecutor's Office of North Sumatra related to indictment drafting. The third discussion addresses efforts made by the prosecutors at the High Prosecutor's Office of North Sumatra to overcome these challenges. The results of this study are expected to provide a comprehensive overview of the authority and challenges faced by prosecutors in drafting indictments and to offer recommendations for improving the criminal prosecution process in Indonesia.</em></p>Aldes Togap Oktavianus MatondangHerlina Manullang
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099ANALISIS YURIDIS DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG PADA KASUS KORUPSI TERKAIT BUMN DAN ANAK USAHA YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15098
<p>Tugas pokok dan fungsi MA sebagai Pengadilan Negara Tertinggi untuk membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali serta menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar (das sollen). Namun terjadi disparitas terkait beberapa putusan MA pada kasus tindak pidana korupsi terkait BUMN dan anak usaha. Lebih lanjut disparitas tersebut akan menghambat efektifitas penegakan hukum tindak pidana korupsi khususnya di BUMN (das sein). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum BUMN dan anak usaha sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, dasar pertimbangan putusan, serta dampak disparitas terhadap efektivitas penegakan hukum. Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konsep dan kasus. Sumber data terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, termasuk dokumen putusan pengadilan. Analisis menggunakan teknik analitis preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan anak usaha BUMN, yayasan, pihak lainnya termasuk ranah keuangan negara jika mendapatkan fasilitas dan penugasan dari pemerintah atau negara. Disparitas putusan pidana merupakan penerapan putusan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama dan dapat diperbandingkan. Pembuktian tipikor dilakukan dengan membuktikan delik sesuai dengan undang-undang, membuktikan adanya sifat tercela dan niat jahat. Selain itu disparitas putusan pengadilan akan menyebabkan berkurangnya efektivitas hukum menimbulkan ketidakpastian, menurunkan kepercayaan publik, dan mengurangi efek jera terhadap pelaku korupsi. Oleh karena itu hakim harus mempertimbangkan prinsip kepastian hukum, prinsip keadilan, dan prinsip kemanfaatan agar tujuan penjatuhan pidana tersebut tercapai.</p> <p><em>The primary duties and functions of the Supreme Court, as the highest judicial authority, are to ensure uniformity in the application of law through cassation and judicial review decisions, as well as to safeguard the fair, accurate, and proper implementation of all laws and regulations across the territory of the Republic of Indonesia. Nevertheless, disparities have arisen in several Supreme Court rulings concerning corruption cases involving state-owned enterprises (SOEs) and their subsidiaries. Such disparities, in turn, impede the effectiveness of corruption law enforcement, particularly within SOEs. This study aims to examine the legal status of SOEs and their subsidiaries as separated state assets, the judicial reasoning underlying the decisions, and the implications of such disparities for the effectiveness of law enforcement. The research adopts a normative juridical method, employing statutory, conceptual, and case approaches. The sources of data comprise primary, secondary, and tertiary legal materials, including court judgments. The analysis is conducted using a prescriptive analytical technique. The findings reveal that SOE subsidiaries, foundations, and other related entities fall within the scope of state finances when they receive facilities or mandates from the government or the state. Disparities in criminal judgments reflect inconsistent application of criminal sanctions to comparable offenses. The proof of corruption is established not only by demonstrating the legal elements of the offense as stipulated by law but also by establishing the existence of reprehensible conduct and criminal intent. Furthermore, disparities in court decisions undermine the effectiveness of the law, generate legal uncertainty, erode public confidence, and weaken the deterrent effect against corruption. Therefore, judges must carefully consider the principles of legal certainty, justice, and expediency to ensure that the objectives of criminal sentencing are fully achieved.</em></p>Aditya SaputraHamdan
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099KEWENANGAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15052
<p>Tugas dan tanggung jawab polisi dalam tipikor sebagai penyidik yang telah diatur jelas dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian negara Republik Indonesia. Rumusan Masalah pada penelitian ini adalah 1. Bagaimana kewenangan kepolisian pada Subdit V Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi?; 2. Bagaimana kendala serta upaya kepolisian pada Subdit V Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi?. Dengan menggunakan teori kewenangan, teori kepastian hukum serta teori tindak pidana dan menggunakan metode yuridis empiris. Didapatkan kesimpulan bahwa Kepolisian memiliki peranan penting dalam mengidentifikasi dan menangani kasus-kasus korupsi melalui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Tugas polisi dalam mengatasi kasus korupsi mencakup dua aspek utama, yaitu penyelidikan dan penyidikan. Kendala yang dihadapi Subdit V Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi yaitu: 1). Intervensi Kekuasaan; 2). Tumpang Tindih Kewenangan dan Koordinasi Antar Lembaga; 3). Kelemahan Regulasi. Upaya yang dilakukan Subdit V Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dalam menghadapi kendala yang ada adalah dengan: 1). Meningkatkan transparansi dan penguatan sistem pengawasan internal; 2). Meningkatkan kerjasama antar lembaga anti korupsi; 3). Melakukan kajian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan terkait. Perlu adanya penguatan koordinasi antar lembaga, serta peningkatan kapasitas penyidik agar kewenangan dapat dijalankan secara efektif, kepastian hukum dapat terjamin, dan batasan tindak pidana dapat ditegakkan secara konsisten. Revisi Undang-undang serta kepolisian juga perlu mempertimbangkan perlunya suatu aturan untuk mengatur antar lembaga anti korupsi agar tidak tumpang tindih dalam penanganan kasus korupsi.</p> <p><em>The duties and responsibilities of the police in corruption cases as investigators are clearly regulated in Law No. 8 of 1981 concerning Criminal Procedure Code and Law No. 2 of 2002 concerning the Indonesian National Police. The research questions in this study are: 1. What are the authorities of the police in Sub-Directorate V of Corruption at the Special Crimes Investigation Directorate of the Metro Jaya Regional Police in handling corruption cases?; 2. What are the obstacles and efforts of the police in Sub-Directorate V of Corruption at the Special Crimes Investigation Directorate of the Metro Jaya Regional Police in handling corruption cases? Using the theory of authority, the theory of legal certainty, and the theory of criminal acts, as well as the empirical juridical method, it was concluded that the police have an important role in identifying and handling corruption cases through the authority granted to them by law. The police's duties in tackling corruption cases cover two main aspects, namely investigation and inquiry. The obstacles faced by Subdit V Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya in handling corruption cases are: 1). Intervention by those in power; 2). Overlapping authority and coordination between institutions; 3). Weak regulations. The efforts made by Subdit V Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya in facing these obstacles are: 1). Improving transparency and strengthening the internal monitoring system; 2). Enhancing cooperation between anti-corruption institutions; 3). Conducting studies and analyses of relevant laws and regulations. There is a need to strengthen coordination between institutions and increase the capacity of investigators so that authority can be exercised effectively, legal certainty can be guaranteed, and criminal offenses can be consistently enforced. The revision of the law and the police also need to consider the need for rules to regulate anti-corruption institutions so that there is no overlap in handling corruption cases.</em></p>Wahyu Gading Wanantika PutraAhmad Sobari
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099IMPLEMENTASI PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA MELALUI KEADILAN RESTORATIF PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA BARAT
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15031
<p>Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pergeseran paradigma dalam penanganan tindak pidana pengguna narkotika di Indonesia, dari pendekatan retributif menuju rehabilitatif yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Implementasi kebijakan ini melalui keadilan restoratif (RJ) oleh Jaksa sebagai dominus litis menghadapi tantangan berupa disharmoni regulasi antar lembaga penegak hukum. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana pengaturan hukum penyelesaian tindak pidana pengguna narkotika melalui keadilan restoratif oleh Jaksa Penuntut Umum? 2) Bagaimana implementasi penyelesaian tindak pidana tersebut pada Kejaksaan Negeri Jakarta Barat? Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaturan hukum yang ada serta mengkaji implementasi konkret dari penyelesaian perkara pengguna narkotika melalui keadilan restoratif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan studi kasus. Analisis dilakukan menggunakan Teori Keadilan Restoratif, Teori Kewenangan (dominus litis), Teori Pertanggungjawaban Pidana, dan Teori Kepastian Hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, pengaturan hukum bagi Jaksa telah terstruktur dengan baik melalui Pedoman Jaksa Agung No. 18 Tahun 2021, namun masih terdapat disharmoni dengan peraturan di lembaga lain. Kedua, implementasi pada studi kasus di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat berhasil dilaksanakan sesuai prosedur, di mana Jaksa, setelah memverifikasi terpenuhinya syarat objektif seperti batas barang bukti dan rekomendasi TAT, menghentikan penuntutan dan mengalihkan tersangka ke program rehabilitasi. Keberhasilan ini menegaskan aktualisasi peran Jaksa sebagai dominus litis dalam mewujudkan tujuan pemulihan.</p> <p><em>This research is motivated by a paradigm shift in the handling of criminal acts of narcotics users in Indonesia, from a retributive to a rehabilitative approach mandated by Law No. 35 of 2009. The implementation of this policy through restorative justice (RJ) by the Prosecutor as a dominus litis faces challenges in the form of regulatory disharmony between law enforcement agencies. The formulation of the problem in this study is: 1) How is the legal arrangement for the settlement of criminal acts of narcotics users through restorative justice by the Public Prosecutor? 2) How is the implementation of the settlement of the crime at the West Jakarta District Attorney's Office? The purpose of this research is to analyze the existing legal arrangements and examine the concrete implementation of the settlement of narcotics user cases through restorative justice. This research uses normative juridical research methods with legislative, conceptual, and case study approaches. The analysis was carried out using the Theory of Restorative Justice, the Theory of Authority (dominus litis), the Theory of Criminal Responsibility, and the Theory of Legal Certainty. The results of the study show that, first, the legal arrangements for the Prosecutor have been well structured through the Attorney General's Guideline No. 18 of 2021, but there is still disharmony with regulations in other institutions. Second, the implementation of the case study at the West Jakarta District Attorney's Office was successfully carried out according to the procedure, where the Prosecutor, after verifying the fulfillment of objective conditions such as the limit of evidence and the TAT recommendation, terminated the prosecution and transferred the suspect to a rehabilitation program. This success confirms the actualization of the role of the Prosecutor as a dominus litis in realizing the goal of recovery.</em></p>Latusiania OktamiaTb Mochamad Ali Asgar
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099PENYALAHGUNAAN KEADAAN SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PERJANJIAN
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15176
<p>Suatu negara yang berlandaskan oleh hukum maka menganut sistem pemerintahannya berlandaskan konstitusi. Kejaksaan Republik Indonesia tidak hanya berperan sebagai penuntut umum, tetapi dalam hal menangani perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, Jaksa memiliki kuasa khusus untuk bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Berdasarkan tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut Jaksa Pengacara Negara merupakan sebutan Jaksa dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Sebagai seorang jaksa, mereka juga memiliki peranan dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, seperti menjadi penuntut umum dan menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, serta kewenangan-kewenangan lain yang diatur dalam Undang-undang. Kemudian salah satu kewenangan lain tersebut adalah sebagai Jaksa Pengacara Negara. Dalam perkara perkara perdata dan tata usaha negara, seorang Jaksa Pengacara Negara memiliki tugas untuk membela hak-hak negara dalam pemulihan harta kekayaan atau aset yang telah merugikan Negara. kewenangan Jaksa Pengacara Negara sebenarnnya sudah cukup jelas mengatur tugas dan fungsinya sesuai dengan undang-undang dan peraturan tentang kejaksaan serta PERJA No: Per-025/A/JA/11/2015, dan terkait batas kewenangan Jaksa Pengacara Negara dalam Perdata dan Tata Usaha Negara ialah segala hal yang diluar dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada undang-undang dan peraturan tentang kejaksaan, serta PERJA No: Per-025/A/JA/11/2015.</p> <p><em>A country that is based on law adheres to a system of government based on the constitution. The Prosecutor's Office of the Republic of Indonesia not only acts as a public prosecutor, but in handling Civil and State Administrative cases, the Prosecutor has special powers to act both inside and outside the court for and on behalf of the state or government in the Civil and State Administrative fields. Based on the duties and authority of the Prosecutor's Office, the State Attorney is the title of Prosecutor in the Civil and State Administration Sector. As a prosecutor, they also have roles and authorities granted by law, such as being a public prosecutor and implementing court decisions that have permanent legal force, as well as other authorities regulated in law. Then one of the other authorities is as a State Attorney. In civil and state administrative cases, a State Attorney has the duty to defend the state's rights in recovering property or assets that have harmed the State. The authority of the State Attorney is actually quite clear in regulating its duties and functions in accordance with the laws and regulations regarding prosecutors as well as PERJA No: Per-025/A/JA/11/2015, and regarding the limits of the State Attorney's authority in Civil and State Administration is anything that is outside of the provisions contained in the laws and regulations concerning prosecutors, as well as PERJA No: Per-025/A/JA/11/2015.</em></p>Natanael LumbantobingLesson Sihotang
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMENANG LELANG KAITANNYA DENGAN ADANYA CESSIE TERHADAP GUGATAN PEMILIK JAMINAN DALAM LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15138
<p>Seseorang tidak lepas dari kebutuhan keuangan, metode dalam mendapatkan tambahan keuangan melalui perjanjian kredit (perjanjian pokok) yang dibebani hak tanggungan (perjanjian accesoir). Hak tanggungan merupakan jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan istimewa kepada kreditor untuk memperoleh pelunasan piutang dari hasil penjualan objek jaminan, dalam praktiknya, piutang kreditor ini dapat dialihkan kepada pihak ketiga melalui mekanisme cessie sebagaimana diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Setelah dilakukan cessie, sering kali muncul persoalan hukum saat kreditor baru (cessionaris) melakukan eksekusi atas objek jaminan. Sengketa yang timbul karena debitor atau pihak ketiga merasa tidak mendapat pemberitahuan, atau mempertanyakan keabsahan cessie. Adapun objek jaminan tetap dilelang dan dimenangkan oleh pihak ketiga sebagai pemenang lelang yang beritikad baik. Pasca lelang, kepemilikan pemenang lelang sering digugat oleh pemilik jaminan. Rumusan masalah penelitian ini yaitu Bagaimana Prosedur Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan kaitannya dengan adanya Cessie yang dilakukan sebelum pelaksanaan lelang dan Bagaimana Perlindungan Hukum bagi Pemenang Lelang kaitannya dengan adanya Cessie terhadap gugatan pemilik Jaminan dalam Lelang Eksekusi Hak Tanggungan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Lelang menurut Yahya Harahap dan Teori Perlindungan Hukum menurut Satjipto Rahardjo. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum dengan studi kepustakaan berdasarkan sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier dan didukung dengan wawancara. Adapun pendekatan penelitian yang diguunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Konseptual, Pendekatan Analitis serta Pendekatan Kasus. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menginventarisasi aturan hukum positif, literatur buku, jurnal dan sumber bahan hukum lainnya. Untuk teknik analisa bahan hukum dilakukan dengan penafsiran gramatikal, penafsiran Sistematis, Kontruksi Analogi dan konstruksi penghalusan hukum. Hasil penelitian menyimpulkan, bahwa cessie yang dilakukan sebelum pelaksanaan lelang tidak menghalangi proses pelaksanaan lelang eksekusi, sepanjang telah memenuhi syarat formil (akta cessie, pemberitahuan kepada debitor, dan pencatatan di kantor pertanahan) serta syarat materil (adanya piutang yang sah dan masih dapat ditagih. Bahwa perlindungan hukum bagi pemenang lelang dalam lelang eksekusi hak tanggungan kaitannya dengan adanya cessie bertumpu pada tiga pilar utama yaitu keabsahan proses lelang sesuai ketentuan hukum yang berlaku, keabsahan cessie berdasarkan hukum yang berlaku, serta itikad baik pemenang lelang sebagai pembeli yang sah, karena pemenang lelang berhak menikmati hak yang diberikan oleh hukum termasuk perlindungan hukum merupakan hak bagi pemenang lelang.</p> <p><em>A person cannot escape financial needs, a method of obtaining additional finances through a credit agreement (principal agreement) burdened with a mortgage (accessory agreement). A mortgage is a material guarantee that gives a creditor a special position to obtain repayment of receivables from the sale of the collateral object. In practice, this creditor's receivables can be transferred to a third party through a cession mechanism as regulated in Article 613 of the Civil Code. After a cession is carried out, legal issues often arise when the new creditor (cessionary) executes the collateral object. Disputes arise because the debtor or third party feels they have not received notification, or questions the validity of the cession. The collateral object is still auctioned and won by a third party as the auction winner in good faith. After the auction, the ownership of the auction winner is often contested by the collateral owner. The formulation of the research problem is How is the Procedure for Implementing the Auction of Mortgage Rights Execution related to the existence of a Cessie carried out before the auction and How is the Legal Protection for the Auction Winner related to the existence of a Cessie against the lawsuit of the Collateral owner in the Auction of Mortgage Rights Execution. In this study, the researcher uses the Auction Theory according to Yahya Harahap and the Legal Protection Theory according to Satjipto Rahardjo. The research method used in this study is a normative juridical research type, namely legal research with a literature study based on primary, secondary, and tertiary legal sources and supported by interviews. The research approaches used are the Legislative Approach, the Conceptual Approach, the Analytical Approach, and the Case Approach. The legal material collection technique is carried out by identifying and inventorying positive legal regulations, literature books, journals, and other legal material sources. The legal material analysis technique is carried out using grammatical interpretation, systematic interpretation, analogical construction, and legal refinement construction. The research results concluded that a cession made before the auction does not hinder the execution auction process, as long as it meets the formal requirements (cession deed, notification to the debtor, and recording at the land office) and material requirements (the existence of valid and collectible receivables). That legal protection for auction winners in mortgage execution auctions in relation to the existence of a cession rests on three main pillars, namely the validity of the auction process according to applicable legal provisions, the validity of the cession based on applicable law, and the good faith of the auction winner as a legitimate buyer, because the auction winner has the right to enjoy the rights granted by law, including legal protection which is a right for the auction winner.</em></p> <p> </p>Dwi AgistinYudha Cahya KumalaPermata Nauli DaulayMagister Kenotariatan Jayabaya
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099TINDAK PIDANA KEKERASAN PSIKIS DALAM RUMAH TANGGA : ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA (Nomor 10 K/Pid.Sus/2024)
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15081
<p>Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum dan dikenai sanksi hukuman. Munculnya berbagai persoalan kekerasan dalam rumah tangga kerap terjadi dan umumnya menimpa kaum perempuan. Kekerasan psikis merupakan tindakan yang menyebabkan trauma atau penderitaan emosional pada korban, seperti ancaman, pelecehan verbal, pengucilan, atau kontrol atas kehidupan korban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis dakwaan Jaksa Penuntut Umum memenuhi unsur pasal 45 ayat (1) Jo pasal 5 huruf b Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk menindak pelaku tindak pidana kekerasan psikis dalam rumah tangga yang dilakukan Tonang Wahyudin Bin Engkah Rusyendi terhadap korban Sri Milawati, dan menganalisis putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Nomor 10 K/Pid.Sus/2024) dalam menerapkan keadilan bagi korban. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, yang meliputi studi dokumen, analisis putusan, dan telaah teori-teori terkait. Penelitian ini menggunakan teori keadilan (John Rawls), kepastian hukum (Gustav Radbruch), dan kontrol sosial (Travis Hirschi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan putusan Mahkamah Agung mengungkap kompleksitas dalam penegakan hukum terkait kekerasan psikis, terutama dalam hal penentuan hukuman yang setimpal dan efek jera bagi pelaku. Penelitian ini merekomendasikan perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan, peningkatan kapasitas penegak hukum, dan edukasi masyarakat untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan efektif dalam melindungi korban kekerasan psikis dalam rumah tangga.</p> <p><em>A criminal act is an action prohibited by law and subject to penal sanctions. Various issues of domestic violence frequently arise and generally affect women. Psychological violence is an action that causes trauma or emotional suffering to the victim, such as threats, verbal abuse, isolation, or control over the victim's life. This research aims to determine and analyze whether the Prosecutor's indictment fulfills the elements of Article 45 paragraph (1) in conjunction with Article 5 letter b of the Law of the Republic of Indonesia Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence to prosecute perpetrators of psychological violence in domestic violence committed by Tonang Wahyudin Bin Engkah Rusyendi against victim Sri Milawati, and to analyze the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia (Number 10 K/Pid.Sus/2024) in applying justice for the victim. The research method used is normative juridical with a qualitative approach, which includes document study, decision analysis, and review of related theories. This research employs the theory of justice (John Rawls), legal certainty (Gustav Radbruch), and social control (Travis Hirschi). The research results indicate that the Prosecutor's indictment and the Supreme Court's decision reveal complexities in law enforcement related to psychological violence, particularly in determining proportionate punishment and deterrent effects for perpetrators. This research recommends the need for harmonization of laws and regulations, increased capacity of law enforcement officials, and public education to create a more just and effective legal system in protecting victims of psychological violence in domestic violence.</em></p>Florentina NgilawanTb. Mochamad Ali Asgar
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099BATASAN HAK IMUNITAS DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) DALAM MENINGKATKAN FUNGSI PENGAWASAN
https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jph/article/view/15048
<p>Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 kaitannya dengan Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 kaitannya dengan MD3 mengatur hak imunitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bentuk perlindungan hukum dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Namun, ketentuan tersebut menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan, karena tidak seluruh tindakan anggota DPR dalam berbagai konteks dijelaskan batasannya secara eksplisit. Penelitian ini secara tujuan untuk melaksanakan analisis batasan normatif hak imunitas DPR serta implikasinya dihadapkan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).Metode penelitian yang dipergunakan yakni yuridis normatif dengan mempergunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan studi kasus. Sumber data terdirinya dari sejumlah dua bahan hukum yakni primer serta sekunder, termasuk dokumen legislatif dan putusan pengadilan. Analisis dilakukan secara kualitatif untuk mengidentifikasi titik-titik rawan penyimpangan dari hak imunitas yang dijadikan tameng dalam menghadapi proses hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun hak imunitas DPR bersifat konstitusional, pembatasannya di Pasal 224 serta Pasal 245 UU MD3 belum sepenuhnya efektif menahan laju penyalahgunaan kewenangan. Dalam praktiknya, imunitas kerap dimaknai secara luas oleh sebagian anggota DPR untuk menghindari proses hukum, meskipun tindakannya berada di luar pelaksanaan tugas dan wewenang.</p> <p><em>Law Number 2 of 2018, in conjunction with the Second Amendment to Law Number 17 of 2014 concerning the MD3, regulates the immunity rights of members of the House of Representatives (DPR) as a form of legal protection in carrying out their constitutional duties. However, this provision raises concerns about the potential for abuse of power, as not all actions of DPR members in various contexts are explicitly limited. This study aims to analyze the normative limitations of the DPR's immunity rights and their implications when faced with the principle of equality before the law. The research method used is normative juridical using a statutory, conceptual, and case study approach. Data sources consist of two legal materials, namely primary and secondary, including legislative documents and court decisions. The analysis was conducted qualitatively to identify vulnerable points of deviation from the immunity rights used as a shield in facing legal processes. The results of the study indicate that although the DPR's immunity rights are constitutional, the limitations in Articles 224 and 245 of the MD3 Law have not been fully effective in curbing the rate of abuse of authority. In practice, immunity is often interpreted broadly by some members of the DPR to avoid legal proceedings, even though their actions are outside the scope of their duties and authority.</em></p>Ikram A. AbubakarMustakim
Hak Cipta (c) 2025 Jurnal Prisma Hukum
2025-09-302025-09-3099