MENGURAI KETIMPANGAN, MEMBUKA PELUANG: STRATEGI INKLUSI GENDER UNTUK KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI SEKTOR LOGISTIK INDONESIA
Kata Kunci:
Logistik, Bias Gender, Kepemimpinan PerempuanAbstrak
Logistik sebagai sektor strategis di Indonesia menghadapi ketimpangan gender yang signifikan, terutama dalam hal kepemimpinan perempuan. Artikel ini menganalisis tantangan sistemik, peluang transformatif, serta peran pemangku kepentingan dalam mendorong inklusivitas gender berdasarkan tinjauan literatur dan data empiris. Empat tantangan utama teridentifikasi. Pertama, bias gender dan budaya patriarki meminggirkan perempuan dari posisi strategis, diperparah oleh microaggressions dan fenomena glass cliff (penempatan perempuan dalam kepemimpinan saat krisis). Kedua, minimnya role model dan mentor perempuan menghambat aspirasi generasi muda, tercermin dari hanya 10% eksekutif dan 4% CEO perempuan di sektor logistik (IDX, 2021). Ketiga, hambatan struktural seperti jam kerja panjang (22% pekerja perempuan di sektor informal logistik bekerja >44 jam/minggu), lingkungan kerja maskulin, tidak tersedianya fasilitas ramah perempuan (misalnya ruang laktasi), serta kesenjangan upah hingga 28% di level CEO semakin memperlebar jurang partisipasi. Keempat, perempuan menghadapi ketimpangan dalam akses pelatihan dan promosi, sering diarahkan ke peran administratif non-strategis dan mengalami bias dalam program pengembangan SDM. Namun, peluang transformatif juga mulai terbuka. Transformasi digital mengurangi beban fisik (penurunan beban kerja gudang sebesar 65%) dan membuka peran berbasis analitik seperti data analyst dan manajer rantai pasok digital, serta mendorong fleksibilitas kerja melalui remote work. Kesadaran terhadap pentingnya inklusivitas juga meningkat, dengan perempuan kini mengisi 41% tenaga kerja rantai pasok global (Gartner, 2024) dan tim dengan keberagaman gender terbukti mendorong inovasi dengan peningkatan pendapatan hingga 19% (BCG, 2024). Pendidikan tinggi juga menjadi pengungkit karier yang signifikan; 56,39% perempuan di Afrika menyatakan bahwa "ketertarikan terhadap pekerjaan" adalah faktor utama dalam kemajuan karier mereka (Dosunmu & Dichaba, 2024). Peran pemangku kepentingan menjadi kunci dalam menciptakan perubahan. Organisasi profesional seperti WiLAT dan SheRunsCargo serta korporasi seperti Lion Parcel dan DAMRI telah menginisiasi program mentoring (Star of WiLAT), menyediakan fasilitas ramah perempuan seperti jaket dan helm khusus kurir perempuan, dan menjalin kolaborasi pelatihan train-the-trainer (DAMRI–DeakinCo.) untuk membangun pipeline pemimpin perempuan. Institusi pendidikan seperti UPI berperan dalam membongkar stereotip melalui program studi teknik logistik yang terbuka untuk semua gender. Di tingkat kebijakan, afirmasi berupa kuota 30% perempuan dalam posisi kepemimpinan (rekomendasi IDX), audit bias gender, fleksibilitas jam kerja, dan penegakan hak cuti berdasarkan UU No. 13/2003, menjadi langkah penting untuk menjamin keberlanjutan partisipasi perempuan. Artikel ini menyimpulkan bahwa inklusi gender dalam sektor logistik bukan sekadar imperatif keadilan sosial, tetapi juga strategi bisnis untuk meningkatkan inovasi dan kinerja rantai pasok. Kolaborasi multisektor—antara pemerintah, perusahaan, akademisi, dan organisasi sipil—berbasis kebijakan afirmatif, transformasi digital, dan pemberdayaan berbasis bukti, merupakan fondasi penting menuju ekosistem logistik yang inklusif dan memberdayakan kepemimpinan perempuan secara optimal.
As a strategic sector in Indonesia, logistics faces significant gender disparities, particularly in female leadership. This article analyzes systemic challenges, transformative opportunities, and stakeholder roles in promoting gender inclusivity, based on literature review and empirical data. Four major challenges are identified. First, gender bias and patriarchal culture marginalize women from strategic roles, exacerbated by microaggressions and the glass cliff phenomenon—placing women in leadership during crises. Second, the lack of female role models and mentors hinders career aspirations among younger generations, reflected in the fact that only 10% of executives and 4% of CEOs in logistics are women (IDX, 2021). Third, structural barriers—such as long working hours (22% of women in the informal logistics sector work over 44 hours/week), masculine work environments, lack of gender-friendly facilities (e.g., breastfeeding rooms), and pay gaps reaching 28% at the CEO level—widen the participation gap. Fourth, unequal access to training and promotion persists, as women are often directed into non-strategic administrative roles and face bias in HR development programs. On the other hand, transformative opportunities are emerging. Digital transformation reduces physical demands (warehouse workload down by 65%) and creates analytical roles such as data analysts and digital supply chain managers, alongside increased work flexibility through remote work. Awareness of inclusivity is also growing, with women now comprising 41% of the global supply chain workforce (Gartner, 2024), and gender-diverse teams generating greater innovation and 19% higher revenue (BCG, 2024). Higher education serves as a powerful career lever; 56.39% of women in Africa cited “interest in the job” as a key factor for advancement (Dosunmu & Dichaba, 2024). Stakeholders play a crucial role in driving change. Professional organizations (e.g., WiLAT, SheRunsCargo) and companies (e.g., Lion Parcel, DAMRI) have introduced mentoring programs (Star of WiLAT), provided inclusive facilities (gender-specific jackets and helmets for female couriers), and initiated train-the-trainer collaborations (DAMRI–DeakinCo.) to build a pipeline of female leaders. Educational institutions such as UPI dismantle stereotypes by offering logistics engineering programs accessible to all genders. At the policy level, affirmative measures such as the 30% leadership quota for women (IDX recommendation), gender bias audits, flexible working hours, and enforcement of maternity leave rights (Law No. 13/2003) are essential to sustaining women’s participation. This article concludes that gender inclusion in logistics is not only a matter of equity but also a business strategy to enhance supply chain innovation and performance. A multi-sectoral collaboration—among government, companies, academia, and civil society—rooted in affirmative policies, digital transformation, and evidence-based empowerment is key to transitioning toward an inclusive logistics ecosystem that empowers female leadership.